Gardu Penangkaran & Pembibitan Pohon Penghasil Gaharu Spesies " GYRINOPS VERSTEEGII" Binaan Dinas Kehutanan Kabupaten Malang No. 552/323/421.116/2013 kontak person : Dwi Prihanto HP: 08125262027 alamat : Jl. raya 205 Senggreng. Sumberpucung. Kab.Malang
Sabtu, 01 November 2014
WISMA GAHARU MALANG : HP+628125262027
PENYEMAIAN
PEMBIBITAN
INOKULASI
JUALBIBIT POHON GAHARU
DI MALANG INDONESIA
PEMBIBITAN
INOKULASI
JUALBIBIT POHON GAHARU
DI MALANG INDONESIA
WISMA GAHARU MALANG INDONESIA
BUDIDAYA TANAMAN GAHARU Oleh: Dwi Prihanto
(a) (b) (c)
Gambar 19. Contoh Kebun Bibit Gaharu di Vietnam
1. Pengertian Umum
Gaharu termasuk jenis tanaman tahunan yang banyak tumbuh di wilayah
tropis, seperti: Indonesia , Malaysia , Kamboja, Laos ,
Thailand , dan Vietnam . Di hutan
belantara Indonesia , pohon
ini tumbuh terutama di Papua, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi , dan Maluku. Di Pulau Jawapun dulunya banyak
tanaman Gaharu, yang umumnya disebut
pohon garu dan kini telah musnah ditelan masa. Indonesia merupakan negara
penghasil gaharu terbesar di dunia, namun dewasa ini hanya mampu melayani 10%
dan sebanyak-banyaknya 20% dari kebutuhan dunia. Walau Indonesia sebagai penghasil gaharu, namun
masyarakat Indonesia
(suku Jawa) yang hidup di era global ini,
sebagian besar telah melupakan dan bahkan tidak tahu apa itu gaharu?
Kata “gaharu” berasal dari bahasa Melayu yang artinya “harum” ada juga
yang menyatakan gaharu berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang
berarti kayu berat (tenggelam di air). Pohon Gaharu adalah tanaman yang bisa
menghasilkan resin sebagai produk damar wangi dengan aroma keharuman yang khas.
Pengakuan masyarakat NTT yang membakar serbuk gaharu dalam suatu acara adat,
aromanya dapat tercium s.d radius ±500 mtr. Oleh sebab itu pohon gaharu dinyatakan sebagai
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), karena nilai jual gaharu bukan pada volume
kayunya, namun terletak pada grid aromanya.
Peribahasa kuno yang mengatakan: “sudah gaharu-cendana pula”,
menunjukkan betapa dikenalnya kedua jenis tanaman tersebut sejak jaman dahulu
kala, di mana kedua pohon tersebut mengandung aroma harum yang berlipat ganda. Namun,
selama ini yang lebih dikenal dengan baik sebagai tanaman yang bernilai tinggi
hanyalah kayu cendana. Sedang tanaman gaharu tidak banyak yang tahu
kegunaannya, apalagi jika tanaman itu tumbuh sehat tanpa cacat, yang berarti
nyaris tak punya nilai ekonomi sama sekali.
Gambar 1. Pohon Gaharu yang
Mengadung Damar Wangi (Gubal)
Setiap daerah (di Indonesia)
memberikan sebutan berbeda tentang “Gaharu”. Ada yang menyebut gaharu sebagai pohon keramat,
pohon ghoib, pohon alim, pohon garu, pohon karas, pohon ketimunan, dls. Mass
media memberikan “icon” gaharu
sebagai tanaman spektakuler, yakni pohon termahal di dunia bahkan lebih mahal
dari emas dan sebuah fenomena patologis yang mengagumkan. Itulah gaharu bagai
melati belantara Indonesia .
Kayu ini diperdagangkan dengan harga jual yang tinggi karena aromanya, dan
banyak dibutuhkan di manca Negara untuk berbagai keperluan.
Berdasarkan hasil pengkajian ilmiah ternyata gaharu memiliki multi-guna
yang menakjubkan, perkembangan IPTEK disinyalir gubal (resin) gaharu di samping
untuk keperluan ritual keagamaan, juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan
di kasanah medis, sebagai bahan elektronik, sebagai bahan aroma terapi jiwa,
dan nantinya akan dikomersialkan sabun wangi, pengharum ruang, rinso beraroma
gaharu. Meski pada mulanya gaharu lebih
banyak di pakai untuk acara spiritual dan peribadatan bagi semua umat agama di
dunia, perkembangan ke depan gaharu memiliki manfaat yang bermulti-guna.
Gaharu dikenal berasal dari family (keluarga) Thymeleaceae, Leguminoceae, Euphorbiaceae, aloes wood dan agalocha. Dalam perdagangan dikenal
sebagai “agarwood atau jinko, englewood atau aloewood”. Gaharu termasuk kelompok evergreen (selalu hijau) dan bisa mencapai tinggi 18-21 meter,
bahkan di hutan belantara tingginya bisa mencapai 40an meter. Pohon gaharu yang
terinfeksi jamur/mikroba akan mengeluarkan getah pelindung yang berbau harum
pada bagian batang pohon yang terluka, dan lambat-laun akan menyebar mulai dari akar, pohon, dahan, ranting sampai
pucuk daun. Pendek kata seluruh pohon tidak ada yang terbuang dan memiliki memiliki
nilai jual yang tinggi.
Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu
dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar
damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang
tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi
yang terjadi baik secara alami atau buatan (inokulasi) pada suatu jenis pohon
gaharu
Proses infeksi
buatan (inokulasi) telah dilakukan penelitian baik secara tradisional maupun
melalui uji lab sekitar tahun 1995 pada pohon spesies Girynopsgii (asal NTB) temasuk
gaharu spesies Aquilaria sp. (asal Sumatra) atas dasar pohon ini masuk dalam Apendix II,
yaitu spesies pohon yang dilindungi
karena sudah terancam punah, dan yang
tersisa di hutan tinggal ± 5%, sehingga proses perdagangan untuk spesies tersebut dilarang mengambil
dari hutan, melainkan bisa dilakukan melalui budidaya di luar kawasan hutan, dalam
bentuk perkebunan, atau di lingkungan pekarangan rumah tinggal.
2. Perkembangan Sejarah
Pohon gaharu di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1200-an, terbukti
dari adanya pertukaran (barter) perdagangan antara masyarakat “Palembang dan
Pontianak” dengan masyarakat Kwang Tung di daratan China. Menurut I.H. Burkill, perdagangan gaharu
Indonesia sudah dikenal sejak lebih dari 600 tahun yang silam, yakni dalam
perdagangan Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis.
Berdasarkan kutipan dari buku ”Sejarah Kebudayaan Sumatera” tulisan: ”
Dada Meuraxa ”. (http://wahanagaharu.blogspot.com),
sejarah awal perdagangan gaharu di Sumatera dari keterangan I Tsing, seorang
musafir ziarah Budhis, telah ketahui beberapa berita penting mengenai
kebudayaan dan perdagangan dari Kerajaan Sriwijaya. Dalam tahun 671 Masehi.
musafir itu berangkat dari kanton ke India muka. Pada pelayarannya, ia
sempat tinggal di Sumatera selama delapan bulan. Dari dua buah buku besar
tulisannya, bahwa Kerajaan Sriwijaya pada masa jayanya menjadi pusat
pengetahuan Budhis. Sriwijaya mempunyai armada Laut sendiri, dan memiliki
sumberdaya alam yang diperdagangkan ke Negara luar. Sebagai barang dagangan ada
yang disebut: Kapur barus, Gaharu, Kayu Cendana, Cengkeh, Sirih, Pala, Lada,
Emas, Perak, dan Timah putih. Oleh penulis penulis sejarah Tiongkok disebut
sebut beberapa perutusan dari Kerajaan Sriwijaya ke Tiongkok berdagang gaharu.
Menurut http://supergaharu.wordpress.com, pada awal abad ke-3, dalam Nan wu yi zhou zhi yang ditulis oleh Wa
Zhen dari Dinasti Wu, menyebutkan bahwa gaharu juga diproduksi di wilayah
Rinan, sekarang dikenal sebagai Vietnam bagian tengah, dan bagaimana
orang-orang mengumpulkannya dari pegunungan. Pada tahun 1580, setelah Nguyen
Hoang mengambil kendali atas provinsi-provinsi tengah Vietnam modern, ia mendorong
perdagangan dengan negara lain, khususnya Cina dan Jepang. Gaharu yang diekspor
dalam 3 varitas yaitu: (a) Calambac (ky nam dalam bahasa Vietnam ), (b) trem hurong (sangat serupa tetapi sedikit lebih keras dan lebih
banyak), dan (c) gaharu itu sendiri. Satu pon Calambac dibeli di Hoi An selama 15 tael dapat dijual di Nagasaki untuk 600 tail.
Penguasa Nguyen segera mendirikan kerajaan Monopoli atas penjualan Calambac. Monopoli ini membantu mendanai
keuangan negara Nguyen selama tahun-tahun awal aturan Nguyen. Xuanzang’s travelouges dan Harshacharita,
yang ditulis pada abad ke-7 Masehi di India Utara menyebutkan penggunaan
produk-produk gaharu seperti ‘Xasipat’
(bahan tulisan) dan ‘minyak aloe‘ di Assam kuno (Kamarupa). Tradisi membuat
bahan-tulisan dari kulit gaharu masih ada di Assam .
Dalam http://www.mitrainti.org
(2008) dijelaskan bahwa kayu gaharu juga
tumbuh subur di Papua, pohon tersebut begitu penting bagi masyarakat pedalaman
suku Asmat dalam perburuan gaharu yang antara lain digunakan sebagai obat
tradisional. Pemburuan gaharu di pedalaman
Asmat biasanya dilakukan secara kelompok. Selain kelompok pemuda, ada juga
kelompok yang terdiri atas anggota keluarga. Bapak, ibu, dan sejumlah anak yang
dibantu anggota keluarga lain bergabung mencari gaharu di hutan-hutan. Anak-
anak sekolahpun dilibatkan dalam kegiatan itu. Mereka membolos dari sekolah
sampai berbulan-bulan untuk memburu gaharu yang mengandung damar wangi.
Berdasarkan evaluasi penulis setelah mengamati perkembangan gaharu di
Negara lain (2010), seperti di Malaysia, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam,
apabila Indonesia tidak bersungguh-sungguh dalam menangani budidaya Gaharu,
niscaya pada tahun 2015 Indonesia akan jauh tertinggal dari Negara-negara lain,
di mana saat ini perkembangan penelitian perkebunan gaharu (di Negara luar) telah
menggunakan teknologi nano dalam proses inokulasi. Bagi para pecinta tanaman gaharu
di Indonesia
perlu kiranya mengamati gambaran berikut ini.
Gambar 2. Pohon Gaharu Spesies Aquilaria dalam Proses Inokulasi
(www.Agarwoodsiam.com., Thailand )
Gambar 3 Kebun Budidaya Gaharu di Vietnam (2006)
Gambar 4. Laboratorium Budidaya
Gaharu di Vietnam (2009)
Gambar 5. Proses Inokulasi
Gaharu di Vietnam
Gambar 6. Perusahaan Pengolah Resin Gaharu di Vietnam
Gambar 7. Keterlibatan Perguruan Tinggi dalam
Pengelolaan Hasil Gaharu (2009)
Gambar 8
Budidaya Gaharu di Vietnam
telah dilaksanakan secara Intensif
3. Volume Perdagangan Gaharu Indonesia
Indonesia telah sejak lama dikenal dunia sebagai penghasil gaharu
terbesar, tingginya produksi secara biologis didukung oleh potensi alam, jenis tanaman,
dengan penyebaran jenis pohon penghasil gaharu yang hampir dijumpai di berbagai
wilayah hutan belantara Indonesia yang dilalui garis katulistiwa. Puncak
perdagangan ekspor gaharu di Indonesia
berlangsung antara tahun 1918 – 1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan
volume sekitar 11 ton/tahun.
Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat, bahkan tujuan
ekspornya tidak hanya ke daratan Cina, Taiwan, Korea, Jepang, melainkan sudah
merambah ke Negara barat Amerika Serikat dan sebagian Negara Timur Tengah (Saudi
Arabia) dengan permintaan tidak terbatas. Bahkan permintaan dari Negara Jerman sampai
sekarang ini belum bisa terlayani, karena kekurangan stok. Sebelumnya, ekspor
gaharu dari Indonesia
sempat tercatat lebih dari 100 ton pada tahun 1985. Dalam upaya memperoleh
gaharu, negera Jerman mulai tahun 2009 bekerjasama dengan Universitas Mataram
(NTB) dalam upaya membudidayakan Gaharu spesies
Girynopsgii.
Menurut laporan Harian Suara Pembaharuan (12 Januari 2003), pada periode
1990 – 1998, tercatat volume ekspor gaharu mencapai 165 ton dengan nilai US $
2.000.000., pada periode 1999 – 2000 meningkat menjadi 456 ton dengan nilai US
$ 2.200.000. Ini membuktikan bahwa pasar gaharu terus meningkat. Namun sejak
akhir tahun 2000 sampai akhir tahun 2002, angka ekspor telihat mengalami
penurunan yang cukup drastis, yaitu hanya sekitar 30 ton dengan nilai US $
600.000.
Tingginya permintaan gaharu
sebagaimana data tersebut di atas, terutama dari jenis Aquilaria malacensis (Kalimantan) dan Gyrinops Verstegii atau disebut Gyrinopsgii
(NTB) menyebabkan perburuan gaharu semakin meningkat dan tidak terkendali di
Indonesia. Pada hal tidak semua pohon gaharu menghasilkan gubal yang bernilai
jual tinggi. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan para pemburu gaharu
sehingga melakukan penebangan secara sembarangan tanpa mengetahui ciri pohon
gaharu yang telah bergubal, sehingga
banyak pohon yang ditebang sia-sia dan tanpa diikuti upaya penanaman kembali
(rebuisasi). Sebagai akibat yang ditimbulkan dari ulah tersebut, kini
populasi pohon penghasil gaharu makin menurun, karena tidak adanya upaya
pelestarian setelah pohon tersebut ditebang. Oleh sebab itu sejak dicanangkan “Tahun-Gaharu-Indonesia-2009”
(dalam http://wahanagaharu.blogspot.com
/2009/01/.html), mari bersama sama mensukseskan 2009 sebagai tahun Gaharu
Indonesia, dan ditindak-lanjuti melalui budidaya Gaharu di luar kawasan hutan,
yaitu di tegal dengan penanaman secara homogin, atau di lahan pekarangan secara
tumpangsari dengan tanaman lainnya, agar tidak kalah dengan perkembangan di
Negara lain.
4. Budidaya Gaharu Indonesia
Pada tahun 1994/1995 mulai dirintis usaha pembudidayaan gaharu di
Propinsi Riau, sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT. Budidaya Perkasa telah
menanam Aquilaria malaccensis seluas
lebih dari 10 hektar. Selain itu Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang
sama dengan luas 10 hektar di taman di Hutan Raya Syarif Hasyim. Selanjutnya
pada tahun 2001-2002 beberapa individu atau kelompok tani mulai tertarik juga
untuk menanam jenis pohon penghasil gaharu. Contohnya, usaha yang dilakukan
oleh para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin-Jambi,
yang menanam gaharu dari jenis Aquilaria
malacensiss. Di Desa tersebut, sampai akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116
petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya telah
mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit gaharu. Adapun Litbang Kehutanan
mempunyai lahan percobaan di daerah Labuhan (Banten). Kemudian Universitas
Mataram juga telah mengembangkan tanaman jenis Gyrinops Verstegii. Meski hasil yang didapat belum diketahui secara
pasti, usaha ini merupakan suatu langkah yang patut didukung oleh semua pihak. Oleh
sebab itu budidaya gaharu perlu dikembangkan terus, terutama di daerah yang
memiliki tingkat kelembaban udara yang tinggi, termasuk di Wilayah Kabupaten Malang , yang memiliki topologi tanah datar
dan berbukit-bukit sangat cocok untuk ditanami pohon gaharu, seperti contoh
penanaman beberapa pohon Gaharu spesies Gyrinopsgii.
(asal NTB) yang telah ditanam secara tumpangsari oleh Sdr. Dwi Prihanto sejak
tahun 1998 di Desa Senggreng Kec. Sumberpucung Kab Malang (lihat Gambar 9), dan
pada tahun 2009 telah menghasilkan bibit untuk dibudidayakan. (Kontak Person:
081 25262027)
Gambar 9. Budidaya
Gaharu spesies Gyrinopsgii di Desa
Senggreng-Malang (Jatim)
5. Nilai Ekonomis kualitas Gubal Gaharu
Pohon Gaharu baru
mengeluarkan bau wangi setelah dia terinfeksi sejenis jamur kayu. Apabila jamur
ini menyerang batang tanaman, maka secara alami pohon akan mengeluarkan sejenis getah (pembentuk
anti-bodi) yang berfungsi menghambat dan mematikan jamur tersebut dan batang
yang semula berwarna putih-tulang akan berubah warna menjadi coklat kehitam-hitaman.
Di hutan belantara, tidak semua pohon gaharu ini berbau wangi dan kurang lebih
hanya 7 persen yang terinfeksi jamur dan menghasilkan damar wangi (gubal).
Damar wangi adalah salah
satu produk hasil hutan dari pohon Gaharu dalam bentuk gumpalan, cacahan,
serpihan atau bubuk yang memiliki kualifikasi produksi yang terdiri atas: (a)
gubal, ditunjukkan pada Gambar 10a, yaitu berupa gumpalan inti kayu yang
berwarna coklat kehitaman yang berbau harum, (b) kemedangan (Gambar 10b), yaitu
potongan kayu yang berwarna putih-tulang yang berbau wangi, dan (c) Gambar 10c
adalah serpihan kayu lunak antara kulit luar dan inti kayu, yang biasa disebut
abu/bubuk/sisa. Masing-masing produk terkandung “oleo resin” dan “chromoe”
yang menghasilkan bau atau aroma khas. Tanaman ini merupakan komoditas ekspor
yang bernilai jual sangat tinggi.
Nilai jual yang tinggi dari gubal gaharu ini
mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sebagai sarana perekonomian. Sebagai
contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan)
harga kemedangan dapat mencapai Rp. 600.000,- per kilogram . Pada
tingkat eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula.
Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips,
serpihan dan serbuk.
(a) (b) (c)
Gambar 10. Contoh Produk (a) Gubal, (b) Kemedangan, dan (c)
Sisa/Abu.
Demikian pula warnanya,
bervariasi mulai dari mendekati putih tulang, kemerahan sampai coklat tua atau
mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya. Warna
gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas dan grid gaharu.
Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan
semakin tinggi pula nilai jualnya. Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu,
menunjukkan semakin tinggi proses terinfeksi, dan semakin kuat aroma yang
ditimbulkannya.
Pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam
kenyataannya, ada orang jahil yang telah memanipulasi. Warna dapat diakali
dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan
gaharu ke dalam destilat gaharu.
Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama
berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara
gaharu yang tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya
(kemedangan), bahkan kayu Gaharu yang warna dan wanginya palsu.
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam
bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum tertarik untuk
mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan
seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan
lebih meningkatkan nilai jualnya. Pengembangan ini akan terwujud apabila ada
uluran tangan ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi, misalnya melalui program
penerapan iptek, vucer serta program-program layanan masyarakat lainnya. Sebenarnya
selain dalam bentuk bahan mentah padat tersebut, melalui proses penyulingan
dapat diperoleh minyak atsiri gaharu yang juga bernilai jual tinggi, yaitu bisa
mencapai 300 juta rupiah per liternya.
Gambar 11. Proses Penyulingan Minyak
Gaharu (Vietnam )
Gambar 12. Proses Penyulingan Minyak Gaharu (Malaysia )
Kualitas Gaharu Indonesia
secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI
tersebut kualitas gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari : (a)
Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara
dengan mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua =
setara dengan mutu Sabah super), (b) Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas
kualitas (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan
mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
(c) Abu gaharu yang terbagi dalam 3
kelas kualitas (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Gambar 13. Contoh Produk Gubal
Gaharu
Pada kenyataannya dalam
perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara daerah yang
satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat
disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai dengan
mutu kemedangan kropos (terburuk). Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para
pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai
dengan mutu kemedangan (terburuk). Penetapan standar di lapangan yang tidak
seragam tersebut dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum
banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Di
samping itu, sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu
masih bersifat sukarela (voluntary),
di mana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Dalam perdagangan
gaharu biasanya dikenal dengan beberapa jenis gubal gaharu dari yang terbaik
adalah kelas Super, AB, BC, C1 dan C2 (Kemedangan). Data yang ada menunjukkan
bahwa sumbangan gaharu untuk devisa negara pada tahun 1995 mencapai Rp 6,2
miliar.
6. Jenis-jenis Pohon Gaharu
Jenis-jenis Gaharu yang tumbuh di daerah tropika memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus, keseluruhan termasuk dalam
famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia
mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, China Selatan,
Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam
di antaranya ada di Indonesia (A.
malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A.
filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan
Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies,
tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah,
Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan
Nicobar. Sembilan spisies di antaranya terdapat di Indonesia yaitu: di
Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam di
antaranya tersebar di Indonesia
bagian timur (NTB) serta satu spesies
terdapat di Srilanka.
Menurut http://ganitri.blogspot.com/2009 , sebaran pohon
Gaharu di Asia di antaranya adalah di India ,
Laos , Burma , Malaysia ,
Vietnam , dan Indonesia .
Sedangkan di Indonesia sendiri Pohon Gaharu tersebar di Pulau Irian, Sumarta,
Kalimantan, Sulawesi , Nusa Tenggara, maluku
dan sedikit di Jawa bagian Barat. Adapun jenis Pohon Gaharu dan penyebarannya
di Indonesia
di antaranya adalah:
Aquilaria malaccensis (Sumatra dan Kalimantan)
Aquilaria beccariana (Sumatra dan Kalimantan)
Aquilaria microcarpa (Sumatra dan Kalimantan)
Aquilaria filaria (Irian dan Maluku)
Aquilaria cumingiana (Sulawesi)
Aquilaria tomntosa (Irian)
Grynops audate dan Grynops podocarpus (Irian)
Grynops versteegii / Grynopsgii
(Nusa Tenggara, Maluku,)
Wikstoemia
androsaemifolia (Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi ).
Dewasa ini telah diteliti bahwa
gaharu dapat diperoleh dari jenis tumbuhan lain famili Thymeleaceae, Leguminaceae, dan Euphorbiaceae
yang dapat dijumpai di wilayah hutan Cina, daratan Indo-china (Myanmar dan
Thailand), malay Peninsula (Malaysia, Bruinai Darussalam, dan Filipina), serta
Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, maluku,
dan beberapa daerah lainnya).
Potensi produksi gaharu yang ada di Indonesia berasal dari jenis pohon
Aquilaria malacenis, A. filarial, A. birta, A. agalloccba Roxb,
A. macrophylum, Aetoxylon sympetalum, Gonystylus bancanus, G. macropbyllus,
Enkleia malacensis, Wikstroemia androsaemofolia, W. tenuriamis, Gyrinops
cumingiana, Dalbergia parvifolia, dan Excoccaria agalloccb). Dari banyaknya
jenis pohon yang berpotensi sebagai penghasil dammar wangi tersebut, hanya satu
diketahui penghasil gaharu yang berkualitas terbaik dan mempunyai nilai jual
yang tinggi dibanding dengan pohon lainnya yaitu Aquilaria malacensis. Karena dampak tingginya nilai jual terhadap
jenis komersial menjadikan perburuan terhadap Aquilaria malacensis sangat tinggi, sehingga sesuai Konvensi CITES
(Convention On International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Nopember 1994 di Florida,
Amerika Serikat, memasukkan jenis penghasil gaharu ini dalam kelompok Apendix
II CITES. (Pohon hutan yang dilindungi)
- Kelangkaan Gaharu
Seperempat abad yang lalu, gaharu (Aquilaria
spp) yang banyak dijumpai di hutan Indonesia itu, tumbuh nyaris tanpa
gangguan. Dalam proses pertumbuhannya, alam membuatnya tidak tumbuh normal,
dalam arti, gangguan alam menyebabkan gaharu terinfeksi penyakit yang kemudian
diketahui menghasilkan gubal gaharu. Gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Aromatic resin) untuk bahan baku beraneka jenis
wewangian inilah yang kemudian mendorong perburuan gaharu merajalela.
Sejak tahun 1970-an, perburuan gaharu mulai dilakukan besar-besaran
karena nilai ekspor gubal yang tinggi. Dalam waktu 10-15 tahun setelah itu,
tanaman gaharu di Indonesia
mulai terancam punah, terutama karena belum dikenalnya teknologi budidaya
gaharu dan teknologi memproduksi gubal. Apalagi meluasnya perburuan kayu gaharu
dilakukan dengan penebangan yang sia-sia. Artinya, banyak pohon gaharu yang
belum mengandung gubal ditebang dan dibiarkan terbengkalai mati, karena tidak
mempunyai nilai jual.
Tingkat kelangkaan kayu gaharu sudah
mulai terlihat pada tahun 1980-an, ketika perburuan gaharu terus dilakukan secara
besar-besaran karena permintaan ekspor yang tinggi. Bertambah banyak pohon
gaharu yang sudah mati belum saatnya karena pencarian gubal yang begitu gencar.
Padahal, secara alamiah gubal tersebut akan muncul pada gaharu yang terinfeksi
jamur (mikroba). Akibatnya banyak gaharu yang ditebang tanpa bergubal dan
terbengkelai di hutan belantara.
Pada tahun 1994 gaharu sudah
langka, baik di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi ,
Papua, Maluku, dan NTB. Sebagai gambaran perkiraan Gaharu jenis Aquilaria
malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera tersisa (10 pohon/ha) dan Kalimantan (9 pohon/ha). Untuk jenis Aquilaria filarial
daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/ha), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/ha). Dan untuk jenis Gyrinops sp daerah
penyebarannya di NTB (8 pohon/ha) dan NTT diperkirakan tersisa 7
pohon/ha).(zul).
Sejak saat itulah gaharu, khususnya jenis A malaccensis Lamk telah masuk dalam daftar Apendix II pada Convention on International Trade in
Endangered Species (CITES) IX di Florida November 1994. Ini artinya,
penebangan kayu gaharu alam (diambil dari hutan) dan ekspor hasil ikutannya seperti
gubal gaharu harus dibatasi. Jenis lain yang juga mulai langka adalah Grynops versteegii yang banyak dijumpai
di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian gaharu jenis
ini hanya bisa diperdagangkan jika diambil dari “hasil budi daya” dan bukan dari alam untuk mencegah kepunahannya.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan
gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok ,
Nusa Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu
mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip adalah
gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm berdiameter
4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih sebagai bahan baku pengharum. Ini
permintaan pasar Timur Tengah.
Gambar 14. Tengkulak Gubal
Gaharu (Super)
Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual
dari resin gaharu, masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu
dari tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu.
Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip
kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi.
Hal tersebut berdampak, semakin
sedikitnya pohon-pohon induk gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal
ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang
ada resin gaharunya, tetapi langsung menebang pohonnya. Diameter pohon yang
ditebangpun menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualitas resin gaharu
yang diperolehpun tidak dapat optimal.
Menurut H. Faisal Bagis,
pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan gubal sekarang sulit. Pada
tahun 1998, CV Agung Perdana mengekspor
gaharu dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini
berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan dan 20%
gubal.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil
gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun Rp500.000
s.d Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu budidaya di Vietnam terus
menggenjot mutu gaharu lewat berbagai teknologi, dan saat ini mereka telah
mengembangkan teknologi nano dalam proses inokulasinya. Ini bisa ditiru pekebun di tanah-air karena
bukan mustahil suatu saat gubal super yang harganya tinggi diperoleh dari
budidaya dalam waktu yang relatif singkat, bahkan kurang dari satu tahun. Ini sedang diteliti di Vietnam, kata Prof
Robert A Blanchette, periset gaharu dari University
of Minnesota Amerika Serikat, melalui surat elektronik.
- Pelestarian dan Pemanfaatan Pohon Gaharu Indonesia
Indonesia merupakan negara
produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil
gubal (bagian inti dari batang pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam,
coklat kemerahan dengan keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan
kondisi produksi alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah
pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi, dengan perkiraan Gaharu
jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera (10 pohon/ha) dan
Kalimantan (9 pohon/ha). Untuk jenis Aquilaria filarial daerah penyebarannya di
Papua (60 pohon/ha), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/ha). Dan untuk
jenis Gyrinops sp daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/ha) dan NTT (7
pohon/ha).(zul)
Memperhatikan kondisi
tersebut, dengan mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di
Indonesia”, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan
Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani, International Timber Trade Organization,
Asgarin dan Yayasan Kehati menggelar Seminar
Nasional I Gaharu di IPB International
Convention Center (2009). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari
keprihatinan masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan
pentingnya produksi gaharu yang lestari di Indonesia.
Hadir dalam acara ini,
Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk membuka acara, didampingi
Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny
Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA
IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI, peneliti, dan pemerhati gaharu
Indonesia. Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Selama ini bagi hasil dari produksi
gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil penjualan gaharu 40%
untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin,
sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan
rakyat,” tambahnya. Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni
sekitar hutan, maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis
masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang memberikan
insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan.
Upaya pemanfaatan gaharu
dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), yang
menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian/cabang pohon
yang ada resin gaharunya saja tanpa harus menebang pohon induknya. Pemanenan
Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di
atas 20 cm.
Permasalahannya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk
bongkahan, chips, serbuk, destilat
gaharu serta produk akhir seperti chopstick,
pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah
gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A.
malaccensis ataukah dari spesies lain.
Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara
pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap
produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis ataukah bukan.
Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies
penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah. Dengan
demikian diharapkan populasi spesies ini
dapat diselamatkan.
Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara
pembakaran (fumigasi) dan pada
upacara ritual keagamaan. Gaharu dengan “naloewood”,
merupakan substansi aromatik (aromatic
resin) berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu yang sudah
dikenal sejak abad ke-7 di wilayah India yang berasal dari jenis Aqularia agaloccha rotb, digunakan
terbatas sebagai bahan pengharum dengan melalui cara fumigasi (pembakaran).
Masyarakat Indonesia
yang tumbuh dengan pengaruh asia terutama India ,
China
dan Melayu sangat akrab dengan gaharu mulai awal era klasik Nusantara.
Kebudayaan Hindu, Bhuda, Konghucu memanfaatkan kayu gaharu untuk: Keperluan
ritual keagamaan (dupa, hiyo; Hindu Budha, Konghucu), Pengharum badan ,
Pengharum ruangan, Bahan kosmetik, Obat-obatan sederhana.
Gambar 15. Gaharu Digunakan
untuk Upacara Keagamaan Semua umat beragama di Dunia
Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini
diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau agarwood, memiliki nilai jual tinggi.
Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua
spesies Aqularia di atur dalam CITES (Convention on International trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan ekspornya dibatasi dalam
kuota.
Saat ini, Indonesia
diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam menyelamatkan produksi gaharu
dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke gaharu buatan. Dengan demikian di
masa yang akan datang, Indonesia
akan memasuki “era gaharu budidaya”
atau mengambil kata yang lebih popular gaharu “non-CITES quota”.
Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125
ton/tahun untuk tiap species. Dalam
batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan
pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka. Menhut menambahkan untuk menjaga
kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi,
gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu telah
ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi modal
dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.
Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis cendawan yakni fusarium dan acremonium).
Mekanisme pembentukan oleo rezin
(damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan mikroorganisme
tadi. Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon
gaharu saat umurnya menginjak lima
tahun, atau pada batang yang berdiameter minimal 10 Cm. Dari infeksi cendawan
tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa oleo
resin.
Pohon gaharu pasarnya sangat
besar. Gaharu yang mengandung “damar wangi” dan bila dibakar mengeluarkan aroma
yang khas dapat diolah menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan
hio, parfum, obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah
penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand adalah
pasar gaharu, sehingga gaharu perlu dilestarikan.
10. Pejuang Budidaya Gaharu
Melihat kenyataan pupusnya
populasi gaharu alam, Haji Arfan (63) di Dusun Lembah Sari, Desa Pusuk,
Kecamatan Batulayar, Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat/NTB), terdorong
membudidayakan pohon gaharu. Terutama melihat kenyataan hutan Pusuk yang
diketahui baik untuk vegetasi gaharu,
nyaris tidak lagi ditemui gaharu. Dengan mengumpulkan anakan dan biji gaharu
dari sisa-sisa pohon gaharu yang masih tumbuh di hutan Pusuk, ia kemudian gigih
membudidayakan tanaman itu. Setidaknya, sejak tahun 1992 muncul harapan tanaman
gaharu bisa dilestarikan. Apalagi, usaha itu didukung serangkaian penelitian
Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram), Dinas
Kehutanan NTB, bahkan Departemen Kehutanan.
Paling tidak, tanaman gaharu tumbuh subur di hutan Pusuk pada areal
sekitar 60 hektar yang ditanam bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan 20
hektar yang ia tanam sendiri. Belum lagi dari jutaan bibit yang ia hasilkan,
bukan saja tumbuh di hutan dan kebun, tapi juga di pekarangan penduduk terutama
di Pulau Lombok .
Usaha membudidayakan gaharu tidak lepas dari ketekunannya bekerja
mencari nafkah untuk kehidupannya bersama istri dan 12 anaknya. Ketekunan
berusaha itu terlihat sejak Arfan menjadi pengusaha kayu bakar tahun 1963-1975.
Setiap hari ia membeli sekitar 100 meter kubik (m3) kayu bakar dari penduduk
dan dijual tiga kali seminggu ke Mataram, ibu kota NTB yang jaraknya sekitar 20 km dari
Pusuk. Ketika itu ia mengetahui di kawasan hutan Pusuk semakin sulit dijumpai
tanaman gaharu. Kalaupun ada tanaman
di kebun masyarakat, tidak terawat dengan baik. Karena itu, ia merelakan
sebagian waktunya untuk mencegah kepunahan kayu tersebut dengan melakukan
budidaya pembibitan dan penanaman pohon gaharu.
Gambar 16. Lubang
Penanaman Gaharu (40 x 40 x 40) Cm
Bagi Arfan, kegiatan
membudidayakan tanaman hutan bukan hal asing. Sejak tahun 1978, ketika ia
diangkat menjadi tenaga honorer sebagai mandor hutan pada Dinas Kehutanan
Lombok Barat, ia biasa membibitkan tanaman penghijauan/reboisasi seperti
mahoni, sonokeling, sengon, dan tanaman buah. Bibit tanaman itu dijual kepada
Dinas Kehutanan dan masyarakat yang membutuhkan, untuk menutupi kebutuhan hidup
keluarganya.
Di sela-sela tugasnya itu,
sejak tahun 1992 Arfan mengumpulkan anakan dan biji gaharu dari hutan Pusuk dan
membibitkan serta menanamnya pada kebun di pekarangan rumahnya. Namun diakui,
kegiatan ini tidak mudah karena kegagalan tidak jarang dialami akibat kurangnya
pengetahuan tentang gaharu. Namun, ia terus mencoba hingga diketahui cara dan
kondisi lingkungan yang baik untuk lokasi pembibitan gaharu. Pada awalnya bibit
gaharu dijual dengan harga Rp 100 per pohon. Baru belakangan ia memperoleh
harga Rp 2.500./pohon. “Tapi, bibitnya sudah mulai sulit dicari dan sekarang
paling banyak sekitar 25.000 bibit/anakan setahun,” jelas Arfan.
Dalam menjalankan
kegiatannya, usahanya Arfan tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, tanaman
gaharu yang ia kembangkan pernah habis dijarah. Namun, hal itu tidak
menyurutkan keinginannya mengembangkan budidaya gaharu. Bahkan, berbekal honor
sebagai mandor hutan dan sebagai buruh pada kegiatan reboisasi serta hasil
penjualan tanaman bibit penghijauan ia meneruskan usahanya.
Meski kegiatan yang
dilakukan selama ini membuat Arfan meraih Penghargaan Kalpataru 2002, namun ia
berterus terang sukses yang diraih itu tidak lepas dari kerja sama dengan
berbagai pihak. Bahkan, lewat kerja sama dengan Dinas Kehutanan Lombok Barat
tahun 1995, ia terlibat dalam proyek percontohan budidaya gaharu di hutan Pusuk
pada areal 60 hektar.
Bantuan uang pemeliharaan Rp
5 juta per tahun dari Dinas Kehutanan, bisa ia sisihkan sebagian untuk
mengembangkan sendiri budidaya tanaman gaharu. Pada areal 20 hektar juga di
hutan Pusuk, tanamannya kini berusia 6-7 tahun. Kebun gaharu ini kemudian lewat
kerja sama dengan Universitas Mataram dijadikan lokasi penelitian tanaman
gaharu Fakultas Pertanian dan Laboratorium Bioteknologi Unram. Di kebun inilah
Unram meneliti proses terjadinya gubal gaharu yang menghasilkan teknologi gubal
gaharu.
Hasil penelitian itu yang
kemudian mempercepat proses berkembangnya minat masyarakat menanam gaharu.
Karena dengan ditemukannya sejenis jamur yang bisa menyebabkan pohon gaharu
terinfeksi penyakit lalu menghasilkan gubal. Dalam hal ini, Arfan bersama
sekitar 10 orang rekannya di Desa Pusuk, menyediakan bibit yang disebarluaskan
ke berbagai daerah di NTB, bahkan ke luar NTB. Sementara Dr Ir Parman, Kepala
Lab Bioteknologi Unram, menyediakan jamur yang disuntikkan ke batang pohon agar
menghasilkan gubal.
Oleh sebab itu, kalangan
pengusaha, aparat kehutanan dan pemerintah daerah serta masyarakat mendukung
upaya budidaya yang dikaitkan dengan pengembangan hutan kemasyarakatan. Bahkan,
dengan tersedianya tenaga ahli dan temuan rekayasa untuk memproduksi gubal oleh
Dr Ir Parman, Pulau Lombok diharapkan menjadi salah satu pusat pengembangan
tanaman gaharu.
Harapan Arfan, tentu saja
masyarakat berkenan mengikuti jejaknya. Karena bukan saja tanaman gaharu bisa
dilestarikan, tapi juga memberi penghasilan yang tidak bisa dibilang kecil.
Dengan harga bibit Rp 2.500 per pohon, lalu menyediakan dana untuk menyuntikkan
jamur dengan biaya sekitar Rp 50.000 untuk setiap pohon. Jika suntikan berhasil
dan terbentuk gubal, keuntungan pemilik pohon bisa dibayangkan jauh sebelumnya.
Setidaknya, satu kilogram gubal kualitas utama harganya sekitar Rp 2 juta-Rp 3
juta.
Gambar 17. Proses Pelubangan (pengeboran) pada Batang Gaharu
Gambar 18.
Proses Penyuntikan (Inokulasi) Gaharu
Namun, iming-iming ini
belakangan tidak mendorong seluruh lapisan masyarakat ikut mengembangkan
gaharu. Yang justru memprihatinkan Arfan ialah ulah segelintir orang yang
justru bisa membuat warga enggan membudidayakan gaharu. Ini terutama karena
masih banyak orang yang lebih memilih jalan pintas agar lebih cepat memperoleh
keuntungan tanpa kerja keras. Mereka itulah yang kemudian menjarah tanaman
gaharu di hutan, kebun dan pekarangan. “Bayangkan saja, tanaman gaharu setinggi
satu meter dicuri dan belum tentu bisa hidup lagi,” jelasnya kecewa. Pernyataan
ini mengisyaratkan bahwa tanaman gaharu yang sudah tumbuh diladang, apalagi
sudah mencapai ketinggian satu meter, janganlah terlalu berharap bisa hidup
kembali apabila dicabut dan di tanam kembali di tempat yang baru.
- Habitat alami Pertumbuhan Gaharu
Kayu gaharu dulu didapatkan di hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis
Nusantara memberikan secara alamiah proses terbentuknya kayu gaharu di wilayah
sesuai dengan syarat tumbuhnya: Sesuai dengan kondisi alami; Dataran rendah,
Berbukit (< 750 mdpl). Jenis Aquilaria tumbuh baik di jenis tanah Podsolik
merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainage sedang sampai baik, iklim
A-B, kelembaban 80%, suhu 22-28 derajat Celsius, Curah hujan 2000-4000 mm/th.
Tidak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm,
pasir kwarsa, tanah dengan PH < 4.
Saat ini Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas
Indonesia (UI) sudah meluncurkan hasil penelitiannya terkait dengan rekayasa
produksi kayu gaharu. Kayu gaharu yang tadinya hanya didapatkan dari alam
langsung sekarang sudah dapat dibudidayakan dengan lebih seksama seperti
tanaman perkebunan lain (teh, kopi, coklat, karet dll).
Gambar 19. Contoh Kebun Bibit Gaharu di Vietnam
Gaharu rekayasa memberikan peluang perencanaan budidaya yang lebih
akuntable, dari mulai penyemaian, pembibitan, penanaman, penyiapan lahan,
pemupukan, perawatan, pengobatan, rekayasa inokulasi (pemasukan enzim pembentuk
jamur gaharu yang harum dan khas wangi baunya. Dari mulai penanaman hingga
dapat dilakukan inokulasi ketika pohon gaharu berumur 4-5 tahun. Dan setelah
1-2 tahun kemudian dapat di panen.
Kebutuhan gaharu dunia sangat besar quota Indonesia 300 ton/tahun baru dapat
dipenuhi 10 % inipun berasal dari gaharu alam. Temuan rekayasa produksi kayu
gaharu memberi peluang yang sangat besar bagi perkebunan di Indonesia . Dan keuntungan lainnya
gaharu dapat disisipkan di sela-sela perkebunan karet, ataupun dapat juga
perkebunan gaharu dengan sistem tumpang sari yang mana pohon gaharu sebagai
tanaman induk (tanaman keras tahunan) dan pada lahan yang sama di tanam tanaman
musiman yang disarankan jenis tanaman dengan buah di atas (bukan umbi-umbian).
Jika pada tahun 2009 pemerintah bersama masyarakat perkebunan dan
pertanian secara serentak melakukan penanaman dan tahun 2014 dilakukan
penyuntikan (inokulasi) maka 2015/16 Indonesia menjadi produsen kayu gaharu
terbesar di dunia. Mari bersama sama mensukseskan 2009 sebagai tahun Gaharu Indonesia .
Dan saat ini pihak UI sudah mempersiapkan bibit gaharu sebanyak-banyaknya. Kami
bekerjasama dengan UI sudah memulai penanaman bibit gaharu, baik di Jawa Barat (sawangan
Depok), Yogyakarta (kulon Progo), maupun Jawa Timur (Malang ).
- Permintaan Pasar dan Pemanfaatannya
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap gubal
gaharu terus meningkat karena multi makna kegunaannya. Setiap agama apapun di
dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan. India dan China paling besar menyerap untuk
dupa-ratus.
Selain untuk keperluan religius, pola hidup manusia juga berpengaruh. Di
Timur Tengah gubal gaharu menjadi kebutuhan pokok. Masyarakat Arab Saudi
menggunakan ranting gaharu untuk siwak atau menggosok gigi agar mulut tidak
bau. Kondisi iklim panas dan kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka
bau menyengat, sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,' kata Dr Afdol
Tharik Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia .
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu
terbesar di dunia. Total ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti
Taiwan mencapai 92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan
2004 (32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur Tengah
terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg). Musababnya mereka
ingin gubal super yang sulit diperoleh. Sebab itu yang mengeluh kekurangan
bahan baku bukan cuma Taufik Murad. CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga
kekurangan pasokan gaharu. Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun
produksi akan diserap. Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya
mengekspor 2-3 ton dari semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Indonesia adalah produsen
gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa species
gaharu komersial dari marga Aquilaria seperti
A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta,
A. beccariana, A. filaria dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah ekspor
gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis
dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan species-species
gaharu menjadi langka. Sehingga pada tahun 1995 CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah
memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar appendix
II. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun.
Namun sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga
jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam
telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.)
dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di
Bangkok. Karena kekhawatiran akan punahnya species gaharu di Indonesia, maka
sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota ekspor menjadi
hanya 125 ton/tahun.
Menurut Joni Surya ke depan
gaharu budidaya yang diperjual-belikan. Seberapa lama alam bisa menyediakan
gaharu? tanyanya. Apalagi di masa mendatang (2020) kebutuhan gaharu sebagai
aroma terapi dan obat-obatan akan
meningkat. Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta hepatitis.
Itu karena gubal gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk
golongan sesquiterpena yang hingga
kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah perusahaan parfum
terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair melakukan uji DNA untuk
mengetahui pencetus aroma gaharu. Mereka berkepentingan karena selama ini tidak
pernah kebagian bahan baku yang selalu habis terserap pasar Timur Tengah,
ungkap Dr Teuku Tadjuddin, kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di
Tangerang. Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus
melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta s.d Rp5-juta, saat ini
Rp10-juta s.d Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma Rp2-juta
s.d Rp3-juta, saat ini Rp4-juta s.d Rp5-juta per kg. Kebutuhan akan ekspor
gaharu di Indonesia memang semakin meningkat sampai tahun 2000.
Dari hasil analisis kimia di
laboratorium, gaharu memiliki enam komponen utama yaitu furanoid sesquiterpene
di antaranya berupa a-agarofuran,
b-agarofuran dan agarospirol.
Selain furanoid sesquiterpene, gaharu
yang dihasilkan dari jenis Aquilaria
malaccensis asal Kalimantan pun ditemukan pokok minyak gaharu yang berupa cbromone. Cbromone ini menghasilkan bau yang sangat harum
dari gaharu apabila dibakar. Sementara itu komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa sequiterpenoida, eudesmana, dan valencana.
Pemanfaatan gaharu sampai
saat ini masih dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk,atau fosil
kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk
dan sifat yang berbeda. Di samping itu, gaharu pun mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan
aroma dengan keharuman yang khas. Makanya dari aromanya itu yang sangat popular
bahkan sangat disukai oleh Negara-negara lain khususnya masyarakat Timur
Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang
sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika,
dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris
serta untuk keperluan kegiatan relijius gaharu sudah lama diakrabi bagi pemeluk
agama Islam, Budha, dan Hindu.
Gambar 20. Masyarakat Timur Tengah, Saudi Arabia, Pengguna Produk Gaharu
Dengan seiringnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu pun bukan hanya
berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara
klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Raintree (1996), gaharu bisa dipakai sebagai obat anti asmatik,
anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan. Dalam khasana etnobotani
di Cina, digunakan sebagai obat sakit perut, perangsang nafsu birahi,
penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal tumor paru-paru dan
lain-lain. Di Eropa, gaharu ini kabarnya diperuntukkan sebagai obat kanker. Di
India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus.
Di samping itu di beberapa
Negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat sudah
mengembangkan gaharu ini sebagai obat-obatan seperti penghilang stress,
gangguan ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan
limfa. Bahkan Asoasiasi Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN) melaporkan bahwa
Negara-negara di Eropa dan India sudah memanfaatkan gaharu tersebut untuk
pengobatan tumor dan kanker. Di Papua, gaharu sudah digunakan secara
tradisional oleh masyarakat setempat untuk pengobatan. Mereka mengggunakan
bagian-bagian dari pohon penghasil gaharu (daun, kulit batang, dan akar)
digunakan sebagai bahan pengobatan malaria. Sementara air sulingan (limbah dari
proses destilasi gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri) yang sangat
bermanfaat untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit.
Getah kayu memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, seperti gondorukem, getah gaharu yang terinfeksi, getah
karet, dan banyak jenis lainnya. Kadang getah diambil dengan cara melukai pohon
yang mengakibatkan kondisi kayu menjadi rusak. Bagi kalangan tertentu, manfaat
kayu gaharu telah membuahkan keuntungan yang cukup besar. Nilai ekonomis gaharu
sebenarnya terletak pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon gaharu
terinfeksi dan mati. Gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Aromatic resin)
yang mempunyai aroma khas. Di Indonesia, dijumpai tidak kurang dari 16 jenis
tumbuhan penghasil gubal gaharu. Gubal gaharu tersebut akan tumbuh di tengah
batang pohon gaharu. Secara tradisional digunakan sebagai bahan pewangi dan
upacara keagamaan masyarakat Hindu dalam bentuk hio dan setanggi (dupa). Saat
ini telah dikembangkan sebagai salah satu bahan baku dalam industri kosmetik,
elektronik dan obat-obatan. Adapun obat-obatan tersebut untuk menyembuhkan
stres, reumatik, lever, radang lambung, radang ginjal dan kanker. Selain gubal gaharu, juga terdapat damar
gaharu, kamedangan (kadar damar wangi rendah) dan abu gaharu (serbuk kayu
gaharu).
- Budidaya Gaharu
Gaharu saat ini adalah tanaman langka (termasuk Apendix II pada konvensi
CITES Bangkok 2004). Akibatnya suplai menjadi berkurang, maka harganya pun
melambung tinggi. Hingga akhir tahun 2002 produksi gaharu semakin menurun dan
rata-rata hanya mencapai sekitar 45 ton/tahun. Hal tersebut diduga disebabkan
oleh intensitas pemungutan yang relatif tinggi khususnya dari jenis penghasil
gaharu yang mempunyai kualitas dan nilai jual yang tinggi, tanpa dibarengi
adanya upaya pelestarian dan pembudidayaan. Sehingga mengakibatkan sangat
minimnya tanaman yang dapat menghasilkan gaharu. Agar kesinambungan akan
produksi gaharu di masa akan datang yang mempunyai kualitas dan nilai jual
tinggi tetap terbina serta tidak tergantung pada hutan alam diperlukan adanya
pembudidayaan yang optimal di beberapa daerah endemik dan disesuaikan dengan
tempat tumbuh dari jenis penghasil gaharu tersebut.Pencarian gaharu dilakukan
oleh para pencari/pengumpul sudah sampai ke dalam kawasan hutan perawan nan
jauh. Agar tak kian langka, Dephut menyerukan budidaya gaharu. Berbagai upaya
dilakukan, seperti program Mesjid Gaharu yang diperkenalkan Menhut M.S.Kaban,
di mana setiap halaman mesjid yang lapang ditanami gaharu. Di Kabupaten HST,
sebagian petani sudah menanam gaharu di sela-sela tanaman karet dan rambutan.
Untuk memenuhi permintaan ekspor, kebutuhan gaharu dunia sangat besar
quota Indonesia
300 ton/tahun baru dapat dipenuhi 10 % inipun lebih banyak didapatkan dengan
cara (illegal) dan ini berasal dari gaharu alam. Oleh karena peluang budidaya
gaharu sangat prospektif. Namun langkah
budidaya gaharu ini niscaya tak bisa berjalan secara optimal, tanpa
adanya penanganan serta perlindungan dari Pemerintah, terutama dalam hal
pengelolaan pasca panen. Kenyataan yang ada sampai saat ini (2010) harga gubal
gaharu masih diombang-ambingkan oleh para tengkulak, sehingga perjuangan petani
gaharu dalam 10 tahun dalam mengelola tanaman, al hasil hanya memperoleh
penawaran harga per Kg yang tak seimbang dengan jerih payah yang telah di
keluarkan sebelumnya. Namun isu ini perlu dikaji lebih mendalam, termasuk set-back
ke produk yang disajikan: “Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan pasar atau
belum?”
Upaya peningkatan produksi gaharu secara lestari dapat dicapai melalui
upaya konservasi, pembangunan hutan industri gaharu yang didukung dengan
tersedianya bibit unggul, serta teknologi bioproses gaharu yang efektif. Selain
untuk mempertahankan kelestarian gaharu, konservasi plasma nuftah gaharu baik
secara in-situ maupun ex-situ juga akan memberikan peluang
dihasilkannya bibit unggul. Penemuan bibit unggul yang memiliki sifat potensial
dalam menghasilkan gaharu dapat dilakukan melalui metode seleksi, baik seleksi in- planta
(pada pohon) maupun in-vitro (di
laboratorium). Beberapa petani di kab. HST sudah terampil untuk membibitkan,
menanam, hingga menyuntik gaharu. Kalau di alam bebas, gaharu bisa memiliki
gubal dengan bantuan serangga atau penyakit, maka pada budidaya pemunculan
gubal dibantu dengan penyuntikkan cairan fusarium
ke dalam batang gaharu. Maka 2-3 tahun kemudian gubal akan terbentuk. Idealnya,
setiap rumah menanam gaharu. Jika di Kab. HST ada 60 ribu rumah, maka akan ada
minimal 60 ribu pohon gaharu. Insya Allah setiap gaharu jika ditangani dengan
baik akan menghasilkan uang yang menjanjikan.
Budidaya tanaman gaharu sudah mulai dilakukan di beberapa tempat, dan
menunjukkan prospek yang sangat baik.
Pengelolaan tanamannya tidak berbeda dengan tanaman lainnya. Perawatan yang intensif dapat memacu
pertumbuhan sehingga seperti di Vietnam
sudah bisa dilakukan inokulasi pada tanaman usia 4 (empat) tahun. Pada panduan
pengelolaan tanaman gaharu, biasanya tanaman sudah siap untuk diinokuladi pada
usia 6 tahun atau setelah diameter pohon mencapai 10 Cm. Akan tetapi pada
dasarnya tidak ada perbedaan usia untuk dapat menghasilkan gaharu. Hal tersebut sangat tergantung dengan
diameter tanaman. Sehingga pembuatan lubang inokulasi sejauh lebih kurang 1/3
diamter pohon secara spiral dan vertical dengan spasi yang bervariasi tidak
menyebabkan pohon rentan patah.
Gambar 21. Proses Inokulasi
Gaharu
Perawatan tanaman dengan
pemupukan bahan organik sangat disarankan. Sehingga pertumbuhan pohon bisa
optimal dan menghasilkan performa batang yang baik. Pemangkasan cabang harus
dilakukan untuk memacu pertumbuhan vertikal pohon sehingga diameter pohon dapat
berkembang sesuai yang diharapkan dan menghasilkan jaringan batang yang siap
untuk dilakukan inokulasi.
Pembuatan jarak tanam pada saat penanaman sangat bervariasi sesuai
dengan pola yang akan dikembangkan.
Jarak tanam yang cukup rapat seperti 3×1 m cukup ideal untuk membuat
kualitas tegakan vertikal. Pelebaran
jarak tanam dapat dikompensasi dengan perawatan tanaman yang lebih
intensif. Jarak yang cukup lebar seperti
6 x 2 m atau 3 x 3 m memberikan kesempatan untuk mengkombinasi dengan tanaman
pertanian sebelum terjadi penutupan tajuk. Beberapa teknis yang dikenalkan bisa
dengan monokultur atau dicampur dengan pohon pelindung, misalnya pohon karet,
petai, rambutan, kopi, cengkeh, dls.
Petani-petani sudah membudidayakan pohon gaharu di lahan pertanian
dengan tumpang sari pada tanaman karet dan sengon. Pada usia lima hingga enam tahun pohon gaharu sudah
dapat dipanen setelah disuntik dengan mikoriza
dan pada bulan ke-enam mulai menunjukkan tanda-tanda terinfeksi. Gaharu pun
menjadi potensi tersendiri bagi Kabupaten Merangin dengan jumlah penduduk
254.203 jiwa dan luas wilayah sekitar 767.900 ha ini.
Gambar 22. Jarak Tanam Pohon
Gaharu
Lahan yang
tersedia dan bibit yang mudah diperoleh, biaya produksi sekitar Rp 147.000 juta
untuk satu hektare lahan (sekitar 600 batang pohon, Red) seakan-akan tidak
menjadi beban bagi para petani tersebut. Pola seperti ini sebenarnya sejalan
dengan pengembangan hutan kemasyarakatan.
Dengan niat konservarsi
Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center mengkampanyekan penanaman
gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan lindung di Desa Senaru, Kecamatan
Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132
hektar di antaranya sudah ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu.
'Gaharunisasi ini juga dilakukan di kampus,' ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas
Pertanian Unram. Jika bisnis dan konservasi sudah bisa berjalan serempak,
apalagi yang harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula,
sudah tahu bertanya pula. Tidak perlu menunggu bukti dari kanan-kiri, karena
tingkat keberhasilannya sudah teruji.
Jenis lain yang juga mulai
langka adalah Gyrimops cumingaina yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian gaharu jenis ini hanya bisa
diperdagangkan jika diambil dari hasil budi daya dan bukan dari alam untuk
mencegah kepunahan. Untuk jenis terbaik dari gubal gaharu kelas super harganya
mencapai tiga hingga empat juta rupiah per kilogram (kg). Atas dorongan
berbagai pihak, melalui Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya (NTB), Usman
bersama 116 petani lain di desa tersebut mulai membudidayakan gaharu di atas
areal sekitar 100 hektare (ha). Tidak kurang dari 200.000 bibit gaharu sudah
terjual. Sejak setahun lalu, permintaan bibit berdatangan dari Kalimantan
Tengah, Suamtera Barat, Lampung, Jakarta dan Bogor. Usman mematok harga Rp
3.500 per bibit gaharu di lokasi pembibitan.
Dengan memperhatikan kuota
permintaan pasar akan komoditas gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan
gaharu pun memiliki prospek yang cukup tinggi dalam upaya untuk mempersiapkan
era perdagangan bebas di masa mendatang. Di lihat dari tahun 2000, kuota permintaan pasar sekitar 300 ton/tahun.
Namun hingga tahun 2002, yang baru bisa direalisasikan untuk memenuhi kebutuhan
pasar, hanya sekitar 10% - 20% saja. Khusus untuk jenis Aquilaria malaccensis yang mempunyai kualitas dan bernilai jual
yang tinggi, usaha pembudidayaannya. Oleh sebab itu, kalangan pengusaha, aparat
kehutanan dan pemerintah daerah serta masyarakat saat ini sangat mendukung upaya
budidaya yang dikaitkan dengan pengembangan hutan kemasyarakatan. Ini sangat penting mengingat budi daya
gaharu pun sebenarnya bisa dilakukan dengan teknik tumpang sari pada tanaman
tahunan seperti karet dan pohon sengon. Budi daya tersebut lalu didukung dengan
teknik inokulasi dengan menyuntikan mikoriza
(sejenis jamur) untuk mendapatkan gubal gaharu.
Budidaya gaharu terdiri dari
beberapa tahap kegiatan dan pemilihan spesies tanaman, antara lain: (a) Aquilaria malaccensis, A. microcarpa serta
A. crassna adalah species
penghasil gubal gaharu dengan aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur
Tengah, sehingga memiliki harga paling tinggi, (b) Gaharu dapat ditanam mulai
dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 750 m dpl., (c)
penanaman dapat dilakukan secara monokultur atau sistem tumpangsari, atau
agroforestry, (d) Jarak tanam 3 x 3 m (1.000 pohon/ha.), namun dapat juga 2.5 x
3 m sampai 2.5 x 5 m. Jika tanaman gaharu ditanam pada lahan yang sudah
ditumbuhi tanaman lain, maka jarak tanaman gaharu minimal 3 m dari tanaman yang
sudah tumbuh, (e) Ukuran lubang tanam adalah 40 x 40 x 40 cm. Lubang yang sudah digali dibiarkan minimal
1 minggu, agar lubang beraerasi dengan udara luar. Kemudian masukkan pupuk
dasar, campuran serbuk kayu lapuk dan kompos dengan perbandingan 3 : 1 sampai
mencapai ¾ ukuran lubang. Kemudian setelah beberapa minggu pohon gaharu, siap
untuk ditanam, (f) Penanaman benih gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim
hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 4 petang
harinya, (f) Pemupukan dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap
6 bulan dengan kompos sebanyak 3 kg melalui pendangiran dibawah canopy, (g) Penggunaan pupuk kimia
seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis
rendah (5 gr/tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya
bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman, (h) Hama tanaman gaharu yang
perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di permukaan daun bawah, bila
kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan dengan pemangkasan pohon
pelindung dan pruning agar kena cahaya matahari diikuti penyemprotan pestisida
seperti Tiodane, Decis, Reagent.,
dls. (i) Pembersihan gulma dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat
dipandang perlu, (j) Pemangkasan pohon dilakukan pada umur 3 sampai 5 tahun,
dengan memotong cabang bagian bawah dan menyisakan 4 sampai 10 cabang atas. Pucuk
tanaman dipangkas dan dipelihara cukup sekitar 5 m, sehingga memudahkan
pekerjaan inokulasi gaharu.
Sesuai dengan kondisi habitat alami, gaharu tumbuh baik pada dataran
rendah hingga berbukit (< 750 mdpl). Jenis Aquilaria spp. tumbuh
optimal pada jenis tanah Podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir dengan
drainase sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-28 derajat
celsius, curah hujan 2000-4000 mm/th. Pohon gaharu tidak baik tumbuh di tanah
tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan
pH < 4.
Gubal dan kemedangan gaharu
yang tadinya hanya didapatkan dari alam langsung sekarang sudah dapat dibudidayakan
sebagaimana tanaman perkebunan/hutan tanaman lainnya. Penguasaan teknik
rekayasa/ stimulasi pemunculan gubal gaharu memberikan peluang bagi pengusahaan
dan budidaya pohon gaharu yang lebih menjanjikan, dari mulai penyemaian,
pembibitan, , penyiapan lahan, penanaman, perawatan, rekayasa inokulasi
(pemasukan jamur Fusarium pembentuk)
dan pemanenan. Inokulasi dilakukan setelah pohon gaharu berumur 4-5 tahun. Dan
setelah 1-2 tahun kemudian dapat di panen.
DAFTAR PUSTAKA
Dian Adijaya S. 2009. Trubus -
Majalah pertanian Indonesia edisi:
Januari 2009 (Online) (HTTP://JEMANIINDONESIA.BLOGSPOT.COM
, diakses: 11 Juli 2010)
Pembaruan. 2009. Memetik Keuntungan di Tengah Kelangkaan Gaharu. (Online) (http://www.situshijau.co.id., diakses: 4 Juli 2010)
http://wahanagaharu.blogspot.com Menanam Bibit danpemeliharaan.html
Pohon Eksklusif Akan Diproduksi secara
Lestari di Indonesia Senin, 16 November 2009. http://www.ipb.ac.id
GAHARU sebagai Hasil Hutan Bukan
Kayu unggulan http://yusefandriyana.blogspot.com
Pembaruan. 2009. Memetik Keuntungan di Tengah
Kelangkaan Gaharu. (Online) (http://www.situshijau.co.id., diakses: 4 Juli 2010)
Tahun Gaharu
Indonesia, 2009. http://wahanagaharu.blogspot.com
Penanaman Dan
Pemeliharaan. http://wahanagaharu.blogspot.com
Sunday, 03 May 2009 02:27 Written by administrator
Petani HST mulai menanam
Gaharu. http://www.hulusungaitengahkab.go.id
Pemkab HST mulai persiapan penyusunan RAPBD 2010, 30 April 2009 13:39
Prospek
Budidaya Gaharu Secara Ringkas, Selasa, 13 Januari 2009
DENAH RUMAH PEMBUDIDAYA
GAHARU
Langganan:
Postingan (Atom)